PDM Kabupaten Cianjur - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kabupaten Cianjur
.: Home > Artikel

Homepage

Apakah kita sudah menjadi muslim yang baik?

.: Home > Artikel > PDM
25 November 2011 14:26 WIB
Dibaca: 3641
Penulis : Sofyan Tsaury (Ocim)

“Maka Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa Kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".(QS Ali Imron 64)

Saudaraku, jika kemungkaran disuatu tempat terus berlangsung, kita perlu curiga, jangan-jangan disana tidak ada orang muslim. Sebab kalau ada pastilah diberantas!. Kenapa? Allah telah memerintahkan melalui Rasul-Nya: Barang siapa melihat kemungkaran hendaklah  merobah dengan tangannya (Kekuatan dan kekuasaan) apabila tidak sanggup, ubahlah dengan lisannya (Menasehati dan menegur), kalau tidak sanggup juga maka dengan hatinya (sekurang-kurangnya hatinya menolak) yang demikian itu selemah-lemah Iman.

Seandainya kita memberikan tanggapan atas kondisi kampung yang disana terselenggara kemungkaran, bahwa kemungkinan disana ada penduduk muslimin tetapi iman mereka sangat lemah sehingga tidak berkutik, tidak bisa berbuat apa-apa!, bahkan mungkin membaur melakukan kemungkaran!, lalu kita katakan secara terbuka: Kalian ini muslim yang lemah iman ya, kok kemungkaran dibiarkan saja!?”  Menurut perkiraan apakah mereka akan tersinggung atau tidak?. Kemungkinannya pasti tersinggung dan marah, bahkan balik menyerang kepada orang-orang yang melakukan kritik.

Begitulah gambaran prilaku muslim, jika ditegur berani ngajak ribut dengan sesama muslim, tapi terhadap kemungkaran….bagaimanakah sikapnya?. Acuh dan diam.

Ternyata kita juga hakekatnya yang memelihara kemungkaran itu terus berlangsung.

Dalil begitu banyak dikuasai, ibadah mahdoh getol dilaksanakan, tapi tidak ada bekas terutama yang berhubungan dengan pemeliharaan lingkungan.

(Sekedar kenangan kecil dibuang sayang)

Dari pemahaman sederhana ini dulu sempat terdorong untuk mencoba terjun memberantas dengan menggunakan berbagai macam pendekatan, puncaknya turun ke jalan melakukan tindakan anarki.

Beragam tanggapan muncul atas upaya taghyir bil yad ini, diantaranya ada seorang muballig yang berkata:“Jangan terlalu banyak mikirin kelakuan orang!, Melakukan aksi menentang itu ini, apalagi rame-rame turun ke jalan, pikirin keluarga sendiri!. Kata Allah juga “Qu anfusakum wa ahliikum naro….(QS Attahrim 6)!” (Ucapnya tahun 1998)

Beberapa teman saya gembira mendengar ucapan itu seraya berkata: “Iya ya ngapain kita turun ke jalan menghancurkan tempat-tempat kemaksiatan, menegur orang-orang agar insyaf sementara keluarga sendiri tidak diperhatikan…..terimakasih Tad atas fatwanya, kalau seandainya saya tahu tentu tidak akan ikut-ikutan, nyesel deh! Kirain beneran termasuk jihad…..!”

Yang lain beda pandangan atas komentar itu, diantaranya ada yang mengatakan: ”Bagaimana saya dapat membuat diri dan keluarga menjadi baik  kalau lingkungan tidak menjamin untuk terselenggaranya kebaikan? Masa saya dan keluarga harus diam terus-menerus di dalam rumah, 24 jam tidak boleh bergaul?. Bukankah Allah berfirman: Kuntum khoiro ummatin ukhrijat Linnas ta’muruuna bil ma’ruf watanhauna ‘anil munkar dan seterusnya..? (QS Ali Imran 110).

Pada pertengahan ayat itu terdapat kalimat “Watu’minuuna billah!”. Menurut hemat saya pengertian ayat itu adalah bahwa Iman tidak akan terjaga dengan baik kalau tidak ada upaya menegakkan yang ma’ruf memberantas kemungkaran. Alhasil bahwa menegakkan yang ma’ruf terhadap diri sendiri dan keluarga serta lingkungan masyarakat harus seimbang dengan upaya memberantas kemungkaran”.

Anehnya sekian tahun kemudian justru kelompok beliau yang paling getol turun ke jalan hingga ada yang berkata: kalau giliran orang lain bergerak di ejek, giliran kelompoknya ingin disanjung,  dipuji sebagai mujahid!

Begitulah watak manusia, padahal apa susahnya bersikap jujur dan bersyukur atas peran serta orang lain. Sadar bahwa dalam mengatasi kemungkaran tidak mungkin dapat diselesaikan oleh sekelompok orang, tetapi perlu bekerjasama bahu membahu dengan yang lain.

Itulah contoh kelakuan muslim terhadap muslim lain! Dalam berbuat kebajikan saling merendahkan, apalagi dalam kejelekan!. Sementara dalil yang diceramahkan dihadapan ummat sama yakni: Yaa ayyuhalladziina aamanuu..ijtanibuu katsiiron minad dhonni….dst (Hai orang-orang beriman jauhilah buruk sangka……..(QS Al-hujurat 12)

Begitu juga dalam hal perbedaan kelompok organisasi da’wah, satu dengan lain merasa lebih baik. Apalagi kalau sudah melibatkan partai lebih parah, saling tuding saling tuduh. Kata-kata keras meluncur bebas diarahkan pada pihak lain seperti murtad, musyrik, skuler, kafir dan lain-lain hanya karena berbeda pilihan. Sementara dalil yang dilontarkan dalam ceramah semuanya sama yakni: Innamal mu’minuuna ikhwatun…..dst (Sesungguhnya orang mu’min itu bersaudara…QS Al-hujurat 10). Tapi prakteknya?

Semua kelemahan itu dijadikan kesempatan oleh yahudi dan nasrani untuk membujuk ummat Islam meninggalkan agamanya.

Yang di demo mereka (Yahudi dan nasrani) tapi yang diajak berantem ummat Islam sendiri!.

Kenapa sampai begitu? Baghyan bainahum, menurut al-Qur’an (Lantaran diantara mereka terdapat penyakit iri dan dengki……)

Teringat dengan ucapan mendiang Raja Arab Saudi Abdul Aziz bin Abdul Rahman Al-Sa’ud (1879-1953M/1293-1373H) yang dikutip Syeikh Syakib Arsalan  dalam bukunya yang berjudul Limadzaa ta’akh-khorol muslimun: Kami tidak takut oleh tentara Inggris dan Francis, kami tidak takut oleh pasukan kafir. Sebab jika kami berperang dengan mereka seluruh ummat Islam akan membela. Tapi bagaimanakah jika yang membuat masalah itu ummat islam sendiri?. Kalau diperangi, nyata-nyata saudara sendiri, tetapi jika dibiarkan?, terus-terusan bikin persoalan!!!

(Catatan kenangan demontrasi tahun 1998)

Saudaraku mu’min dan mu’minat, untuk mengatasi masalah ini sesungguhnya tidak sulit, semua sudah tahu jawabannya, bukan malah lari pada paham lain lantaran prustasi, bukan pula membikin aliran baru untuk menunjukkan kekecewaan, tapi….Jadikanlah kepentingan Islam diatas segalanya, persaudaraan atas nama Islam diatas segalanya.             Yang membuat kita jadi renggang seperti ini adalah karena terlalu mengutamakan target dan kepentingan kelompok.

Jika kita kebetulan berada pada kelompok yang berbeda, jangan jadikan kelompok mirip agama sehingga dengan perbedaan itu tega menghakimi dan menghukumi orang lain dengan tudingan yang tidak baik seperti menyebut kafir, musyrik dan murtad.

Jadikanlah keaneka ragaman kelompok sebagai kekuatan, sebagai mitra kerjasama. Dengan pikiran ini insya-Allah kita akan dapat hidup dalam suasana saling hormat dan saling menghargai.

Kita boleh tidak puas dengan kelompok lain, tapi ingatlah bahwa kelompok kita belum tentu sanggup menjamin dan mencukupi kebutuhan kelompok lain. Demikian pula dalam mewujudkan pembangunan, tidak mungkin dapat diselesaikan hanya dengan mengandalkan kelompok sendiri tanpa mengajak kerjasama pihak lain.

Sudah banyak dibuktikan, untuk duduk dalam kekuasaan saja  dibutuhkan koalisi karena mereka paham tidak mungkin berjalan sendiri, perlu merangkul kekuatan lain untuk menegakkan cita-cita dan ambisinya.

Demikian pula dengan ilmu yang kita miliki tidak akan sanggup meliputi kelompok lain. Untuk itu mengapa tidak mengubah cara pandang (Taghyirul ma’rifah) untuk berpikir bijaksana, menghargai hasil ijtihad orang lain. Karena yang berhak mengadili benar dan tidaknya hasil ijtihad hanya Allah SWT. Mengapa pula tidak diperhitungkan sisi positif dari setiap perjuangan orang lain daripada menghabiskan waktu untuk saling menjelekkan?.

Kita boleh menilai dan melontarkan kritik sehingga dengan sikap itu dapat menentukan pilihan. Tapi ingat, itu adalah paham dan pikiran kita, tidak perlu dipaksakan kepada orang lain yang nyata-nyata beda pikiran dengan kita. Anehnya sering timbul perasaan kecewa dan benci ketika menyaksikan orang lain berbeda keinginan?

Kalau begitu yang salah bukan orang lain, tetapi cara berpikir kita yang kurang tepat.

Ingatlah, bahwa kadang-kadang manusia mengukur segala sesuatu dari kepuasan hatinya, padahal disitulah tempatnya kelemahan dan keterbatasan. Toh meski begitu yakin dengan keyakinan sendiri, masih banyak orang lain yang dapat melebihi kita dalam kedudukan, dalam segala macam kelebihan, dalam ilmu dan kepintaran, dalam segala karya….dan amal nyata, bahkan juga dalam keyakinan….

Mungkin orang lain lebih hebat, lebih maju dan berhasil. Disisi Allah mungkin juga lebih benar!, Mengapa tidak terpikirkan untuk bersikap rendah hati?.

Maaf beribu maaf tulisan seperti ini sering diulang-ulang saking mendambakan semua orang mendahulukan bijaksana dalam menyikapi segala sesuatu, termasuk ketika menghadapi perbedaan-perbedaan. Prioritas utama menegakkan agama dapat tercapai tidak terdahului oleh permusuhan diantara sesama yang akan mencederai nilai-nilai perjuangan. Meskipun begitu saya tetap menghargai kalau ada yang tidak sependapat dengan tulisan ini.

Islam adalah agama rahamatan lil alamin. Ayat itu jangan hanya diproklamirkan dihadapan non muslim untuk menunjukkan jati diri kaum muslimin. Tapi buktikan ditengah sesama muslim sendiri. Sehingga keberadaan kita dintara sesama betul-betul menjadi rahmat,  bukan jadi laknat yang menyebabkan orang lain tidak nyaman. Malas bertemu, enggan bertegur sapa, akhirnya saling menjauh dan renggang. Kesananya saling hasut dan saling memfitnah.

Tidak mungkin ciri hidup yang didasarkan pada agama rahmatan lil alamin seperti itu, apalagi kalau satu dengan lainnya saling mengklim paling agamis, Rahmatan lil alaminnya semakin tidak terasa, terkubur oleh hawa nafsu dan keserakahan…..!

Mari kita renungkan!

Sebab dalam Islam inilah kita terhimpun, terikat dalam satu kesatuan Laa Ilaaha Illallah, Muhammad Rasulullah.

Sebagai pribadi saya dapat menerima kenyataan, tetapi benci dengan perpecahan dan pertikaian. Komitmen kita adalah meninggalkan segala sesuatu yang membuat orang lain merasa tidak nyaman untuk bergaul bersama kita.

Buatlah diri kita dewasa dalam menimbang dan menilai

Biarkan semua persoalan berlalu, Karena tak mungkin seluruh kehidupan ini dapat kita genggam.

Jadikan semua fenomena yang terjadi sebagai pelajaran penting untuk membangkitkan semangat dalam menunjukkan kebenaran.

Jadilah ummat penengah (Ummatan wasatha) yang mendatangkan kesejukan dan kedamaian di hati orang, sebagaimana tujuan Islam hadir di muka bumi untuk menjadi Rahmatan lil ‘alamin, demikian pula dengan penganutnya bahwa setiap individu muslim harus jadi rahmat bagi yang lain.

Kehadiran kita semua menjadi penggembira, dan penyejuk hati bagi ummat yang lain. Begitulah cara kita memposisikan diri sebagai saksi atas kehidupan (litaquumuu Syuhada ‘alannas). Mereka bahagia diantara pandangan rahmat Allah yang ada pada diri kita terbagi secara merata. Dan begitu pula kita menjadi saksi atas tegaknya kebenaran Allah (Syuhadaa ‘alal haq), karena satu dengan lainnya diantara kita menjadi pelaku yang sama;  yakni penegak kebenaran.

Kita mengucap Alhamdulillah ‘ala ni’matil iman wal Islam: Segala puji bagi Allah atas karunia nikmat Iman dan Islam. kita bersyukur dengan keimanan dan keislaman dapat membahagiakan orang lain, bersyukur karena dengan Iman dan Islam inilah kita dapat hidup dalam kebersamaan.


Tags: pp , muhammadiyah , pusat
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori :

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website